Pemahaman akal manusia terhadap eksistensi Tuhan dan
kebenaran agama masih dalam perdebatan sengit. Namun toh, pendekatan akal dalam
dunia Islam terus berkembang seiring perkembangan filsafat Islam. Pendekatan
ini di dunia Barat disebut hermenetik, sementara di dunia Islam dikenal istilah
ilmu kalam, mantiq, logika atau ilmu tafsir. Beragam istilah pendekatan itu
memiliki kesamaan yakni menggunakan akal dalam menemukan kebenaran.
Akal adalah alat berfikir yang bersemanyam di dalam otak sehingga manusia
mengerti dan memahami. Namun dalam perkembangannya manusia berakal dipahami
sebagai manusia yang cerdas, yang mampu memecahkan masalah dalam hidupnya. Kehebatan sistem otak manusia yang
berbeda dengan makhluk lainnya membuat manusia menjadi makhluk yang paling
hebat sehingga bisa bertahan hidup dari masa ke masa.
Manusia diberikan anugerah akal oleh Tuhan sebagai senjata pamungkas dalam
menjalani kehidupannya di bumi. Kelangsungan hidup Adam dan Hawa, misalnya,
dari awal peradaban sampai beranak pinak hingga sekarang merupakan bukti atas
kekuatan nalar yang diciptakan oleh Allah Swt. Melalui nalar tersebut manusia
telah memperoleh pengetahuan. Karena memang manusia adalah satu-satunya makhluk
yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Melalui pengetahuan
manusia bisa berkembang karena memiliki bahasa, mengembangkan pengetahuannya
dengan cepat dan mantap, kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka
berfikir tertentu.
Kendati tidak semua pengetahuan diperoleh dari proses penalaran, yaitu hasil
proses berfikir logika ilmiah dan analitik. Ada pengetahuan yang diperoleh dari
hasil penalaran, ada juga dari intuisi (perasaan) dan pengetahuan diperoleh
bukan hasil dari usaha manusia yaitu wahyu. Tetapi para filosof sekuler
memahami bahwa berfikir dalam pengertian penalaran logika merupakan bentuk
suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Itulah kemudian dalil
ini menjadi landasan menemukan kebenaran dalam agama menggunakan pendekatan
nalar, seperti yang dilakukan mereka dalam memahami ajaran Kristen pada abad
pertengahan.
AKAL DAN PROBLEM SPIRITUAL
Sumber pengetahuan paling tidak ada tiga yaitu nalar (akal), pengalaman,
intuisi (perasaan) dan wahyu. Namun pengetahuan yang digunakan dalam penalaran
bersumber pada rasio dan fakta. Sementara pengalaman, intuisi apalagi wahyu
bukan termasuk wilayah ilmiah. Sehingga agar pengetahuan mempunyai dasar
kebenaran maka proses berfikir harus dilakukan dengan cara tertentu. Dimana suatu
penarikan kesimpulan itu disebut logika.
Mengedepankan kemampuan nalar kita akan terjebak dalam dunia materialistik,
bahkan tidak sedikit kekuatan nalar telah menyeret manusia mengingkari
Tuhannya. Charles Darwin, misalnya, ilmuwan Biologi abad XIX yang dikenal teori
evolusinya ini semula orang yang percaya adanya keberadaan Tuhan. Namun ketika
dia semakin matang sebagai ilmuwannya, secara perlahan telah kehilangan
kepercayaan kepada Tuhan.
Problem spiritual tersebut banyak dialami oleh para ilmuwan yang sudah
mengagungkan akal sebagai sumber kebenaran ilmiah, seperti Pierre de Lapace,
astronom Prancis, Sigmund Freud (ahli psikologi), Emile Durkheim sosiolog dan
banyak lagi. Kebebasan akal mengawali puncaknya ketika abad pertengahan masa
pencerahan (renaisans) di belahan bumi Eropa. Tuhan telah mati, demikian ucapan
untuk menggambarkan runtuhnya dogma gereja, yang selama ini menjadi sumber
kebenaran tunggal di dalam masyarakat.
Metode logika dalam mencari sumber kebenaran pengetahuan sudah merambah pada ranah
transendental. Akibatnya semuanya ditimbang antara logis dan tidak logis,
rasional dan tidak rasional. Logiskah peristiwa Isra Mir’aj Nabi Muhammad Saw
dalam konteks teknologi sekarang? Berbagai pertanyaan dan pernyataan itu
menjadi paradigma tidak saja dalam memahami ilmu tetapi juga agama. Fenomena
tersebut mulai merambah ke dalam pemikiran intelektual muslim Indonesia.
Padahal menurut para ilmuwan muslim, manusia memiliki tiga macam sumber atau
alat untuk menangkap keseluruhan realitas yaitu panca indra, akal dan intuisi
(termasuk wahyu). Akal dalam bentuk proses penalaran memang digunakan, tetapi
hanya untuk memilih, memutuskan dan melakukan penalaran, bukan sebagai sumber
lain untuk menangkap realitas . Menurut Herber A.
Simon, nalar itu ibarat senjata sewaan, yang bisa kita gunakan untuk mencapai
tujuan apa saja, baik atau buruk. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada
inisiator, kita memakai nalar untuk mendapatkan yang kita mau, bukan untuk
menentukan yang kita mau.
Nabi Adam As, misalnya, pengetahuan yang diperolehnya tidak melulu hasil
penalaran yang dilakukannya. Namun juga atas bimbingan ilahiyah melalui
malaikat Jibril. Ketika “dibuang” ke bumi, Adam belum memiliki pengetahuan
dalam bertahan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Bagaimana ketika dia dan Hawa
mulai merasa lapar, bagaimana ketika anak-anaknya di nikahkan, ketika Qobil
melihat Habil terbunuh olehnya. Jika mengedepankan akal, maka seperti sikap
Qabil yang menolak menikah dengan adik Habil karena justeru adiknya sendiri
memiliki kelebihan fisik daripada adik Habil.
KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM
Allah telah memuliakan anak adam dengan akal dan menjadikan akal sebagai syarat
utama pembebanan syariat kepada manusia. Dalam ilmu mantiq dapat juga dikatakan
manusia adalah hewan yang berakal (al insanu hayawanun natiq). Dalam al quran
surat Ali Imran ayat 190 yang artinya : "Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi dan selisih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang berakal”. Dan dalam ayat lain dikatakan: "Hanyalah
orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran” (Ar-Ra'd:19).
pada dasarnya Allah menciptakan akal pada manusia berbatas sesuai dengan
kemampuan yang ada dalam akal itu sendiri dimana akal itu difungsikan. Karena
apabila fungsi akal sudah melampaui bidang-bidang yang di batasi-Nya, maka
dengan demikian orang yang memiliki akal itu sudah melakukan kezaliman, sebab
dengan melakukan itu akan menghasilkan kesesatan dan kebingungan, dan ini
mungkin yang menjadi alasan bagi sebagian ulama mengatakan bahwa ilmu mantiq
atau dikenal dengan istilah ilmu logika itu haram dan akhirnya membuat manusia
jatuh kepada kekafiran, ini benar sekali. Karena bagaimana manusia dapat
menjalankan ibadah dengan sempurna kalau apa yang dipikir oleh akal sehatnya
sudah melampaui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Sang Khaliq, dan
melampaui batas akal itu sendiri.
Dimana terkadang seorang manusia yang super pintar berusaha menggali ilmu
Al-Quran di luar kemampuan akalnya dan berusaha mencari tahu zat Allah
sesungguhnya dan ini adalah mustahil, karena zat Allah merupakan suatu yang
mustahil untuk dipelajari dan dipikirkan oleh akal sehat seorang manusia yang
menjadi ciptaan-Nya.
Lalu bagaimana kedudukan akal dalam memahami agama? Abu al Hasan al Asy`ary,
mantan tokoh Mutazilah memberikan penjelasan kedudukan akal akal dalam memahami
agama yakni sebagai berikut :
(1) Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama
sekali tidak dapat memberikan pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal
seperti ini sama saja dengan merubah aqidah. Bagaimana mungkin aqidah mengenai
Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan wahyu.
(2) Manusia harus
beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi, artinya akal
harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi maka
tidak ada nilai keimanan.
(3) Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal
maka wahyu wajib didahulukan dan akal berjalan dibelakang wahyu. Dan sama
sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu apalagi mendahulukan akal
atas wahyu.
No comments:
Post a Comment