KEKERASAN dalam pendidikan sudah menjadi sorotan masyarakat sejak lama.
Berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan verbal seperti membentak siswa
sampai dengan kekerasan fisik yakni menampar sampai memukul menjadi fenomena di
dunia pendidikan negeri ini. Kondisi tersebut sudah berlangsung lama, bahkan
frekuensinya meningkat seiring meningkatkan agresifitas siswa didik di
lingkungan sekolah.
Sering kita baca, melihat dan mendengar di berbagai media massa baik cetak
maupun elektronik berbagai kekerasan dalam proses belajar mengajar. Di Kediri
Jawa Tengah, ayah seorang siswa menghajar seorang guru SD di depan kelas. Di
Pati, seorang guru SD menghukum muridnya dengan lari keliling lapangan dalam
kondisi telanjang bulat. Dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan
bermunculan, seperti kasus tawuran antar-sekolah di Kota Cirebon ini.
Kekerasan serupa terulang terjadi di berbagai daerah dan sekolah dengan ragam
tingkatannya. Bahkan sekelas mahasiswa, manusia intelektual sekalipun, kini
aksi kekerasan sering diperagakan.
Seorang guru SMK Teknologi (dulu STM) di wilayah Cirebon pernah bercerita,
tindakan kekerasan seperti membentak, menjewer, menampar sampai memukul siswa
sudah menjadi tradisi di kalangan pendidik di sekolahnya. Pihak sekolah, guru
dan siswa memaklumi jika para siswa bersalah mereka harus siap menerima hukuman
dalam bentuk kekerasan fisik. Terkesan, tanpa kekerasan mendidik siswa tidak
akan berhasil.
Padahal kekerasan dalam belajar tidak disukai oleh para siswa karena akan
mengganggu proses transformasi ilmu. Penulis pernah melakukan survai sederhana
kepada sejumlah siswa SMP di Kota Cirebon tentang guru yang tidak disukai dalam
cara mengajar. Menurut mereka, guru-guru tersebut adalah yang mengajar dengan
cara kekerasan. Jika siswa rebut, guru langsung membentak, menggebrak meja.
Ketika siswa tidak bisa menjawab pertanyaan, guru menjewer, mencubit sampai
memukul siswa.
Tindakan guru tersebut merupakan sudah menjadi gaya pengajaran di banyak
sekolah. Para pendidik masih berfikir paradigma lama, bahwa keberhasilan proses
belajar mengajar di kelas manakala para siswa bisa mengikutinya dengan tertib,
tidak ribut. Sebaliknya dianggap suatu kegagalan mengajar, jika dalam proses
belajar siswa ribut terus, apalagi sampai keluar kelas bergerombol.
B. PENYEBAB KEKERASAN
Kekerasan dalam pendidikan tidak semata hanya dilakukan oleh guru kepada
siswanya. Tetapi ada juga dari siswa atau orang tua kepada gurunya, masyarakat
kepada sekolah, kepala sekolah kepada guru dan antara siswa sendiri. Istilah
kekerasan (violence) digunakan untuk menggambarkan perilaku yang disertai
penggunaan kekuatan kepada orang lain, baik secara terbuka (overt) maupun
tertutup (covert) atau bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan
(defensive).
Kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan bukan variabel berdiri sendiri.
Tetapi dilatarbelakangi oleh faktor-faktor lainnya, baik internal maupun
eksternal. Tindakan kekerasan terangkai dalam hubungan spiral mulai dari
kondisi, faktor dan pemicu. Faktor itu dapat muncul sewaktu-waktu, oleh siapa
saja yang terlibat dalam dunia pendidikan, sepanjang dijumpai pemicu kejadian
(Assegaf, 2004:37).
Ditinjau dari tingkatannya, Abdul Rahman Assegaf (2004) menjelaskan perilaku
kekerasan dibedakan menjadi tiga kelompok. Pertama, kekerasan tingkat ringan,
yakni berupa potensi kekerasan. Pada tingkat ini kekerasan masih bersifat
tertutup, defensive. Kedua, kekerasan tingkat sedang, berupa perilaku kekerasan
dalam pendidikan seperti pelanggaran peraturan sekolah. Ketiga, kekerasan
tingkat berat yakni tindakan criminal.
Merujuk dari uraian di atas maka kekerasan dalam pendidikan masuk dalam
kategori kekerasan tingkat sedang, karena pelaku hanya melakukan pelanggaran
peraturan sekolah. Namun kekerasan tingkat sedang itu bisa berubah menjadi
kriminalitas manakala pelanggaran atau sanksi itu berlebihan. Misalnya, membawa
senjata tajam atau obat-obatan terlarang. Atau guru menghukum siswa sampai
menyisakan luka berat.
Kekerasan yang melekat dalam dunia pendidikan memang melalui fase yang panjang,
mulai dari kondisi, faktor dan pemicu. Siswa bertindak agresif dipengaruhi oleh
berbagai penyebab, seperti keluarga, masyarakat dan media massa. Keluarga yang
terbiasa mendidik anak secara otoriter dan kotor dalam bahasa kerap membawa
anak terbiasa dengan kekerasan.
Begitu juga dengan sikap masyarakat, yang menuntut keinginannnya disertai
kekerasan menjadi pelajaran buruk bagi anak. Seperti unjuk rasa para buruh
pabrik, mahasiswa atau massa pilkada yang melakukan pengrusakan. Anak akan
menyimpulkan bahwa dengan kekerasan keinginan mereka terhadap sesuatu akan
terpenuhi.
Peran media massa dalam mendidik kekerasan tidak sedikit. Banyak gambar dan
tayangan, baik berita terlebih hiburan menyuguhkan adegan kekerasan, baik
kekerasan fisik maupun kekerasan verbal (bahasa) seperti kata-kata kotor tidak
terpuji. Celakanya, berbagai media kekerasan itu mempengaruhi keluarga dan
sekolah akibatnya kekerasan semakin meningkat, karena kekerasan selalu diatasi
dengan kekerasan. Seperti murid nakal diatasi dengan menampar atau memukulnya.
Di sekolah guru lebih terbuka melakukan kekerasan terhadap siswa. Kenapa harus
guru? Pertama, guru merupakan orang yang banyak berhadapan dengan siswa
daripada kepala sekolah. Atas dasar peraturan sekolah, guru bisa melakukan
kekerasan psikis berupa ancaman, atau kekerasan fisik yakni membentak,
mencubit, menjewer sampai menampar dan menjotos jika siswa sulit diatur.
Kedua, guru adalah manusia yang tertekan. Tertekan dari masalah ekonomi, anak
dan keluarga di rumah, sampai posisinya yang terlemahkan dalam sistem di
sekolah. Mengurus dan mendidik anak sendiri saja susah, apalagi mengurus
ratusan anak orang di sekolah. Maka tidak jarang terjadi, sibuk ngurusi anak
didik agar pintar sekolahnya, justeru anak sendiri di rumah malah prestasi
belajarnya kurang baik.
Tekanan psikis lainnya bagi guru adalah kesejahteraan mereka untuk hidup layak
belum memadai. Gaji yang ada belum memberikan kemakmuran bagi keluarganya. Maka
tidak heran banyak guru yang memiliki usaha sampingan demi pemenuhan kebutuhan
keluarganya. Namun hal itu menuai protes baik oleh internal sekolah dan
pemerintah maupun masyarakat karena mengabaikan profesionalismenya sebagai
tenaga pendidik dan pengajar.
Hal lain, pemberian nilai guru kepada siswa tidak lagi independent tetapi sudah
mendapat intervensi. Guru diupayakan memberikan nilai raport yang bisa
meluluskan siswa naik ke peringkat kelas berikutnya. Akibatnya, guru tidak
memiliki daya tawar kepada orangtua siswa untuk memperbaiki mutu belajar
anaknya. Termasuk guru tidak memiliki akses untuk mengetahui manajemen keuangan
sekolah secara transparan.
Ketiga, guru kurang peka dengan perubahan paradigma baru dalam pendidikan
bangsa ini. Ditengah kurikulum pendidikan sekarang menuntut adanya kebebasan
belajar anak dalam merekonstruksi pengetahuan dalam pengalaman belajarnya, guru
tetap memposisikan diri sebagai pengajar (teacher) yang otoriter, feodal,
sebagai manusia super, serba tahu segalanya.
Padahal menurut Dirjen Pendidikan Menengah Depdiknas Indra Jati Sidi (2003:39),
fungsi guru masa depan sudah beralih sebagai pelatih (coach), pembimbing
(counselor) dan manajer belajar (learning manager). Paul Suparno, mengatakan
dtengah tugas guru yang berat di era reformasi ini guru harus mengembangkan
sikap cinta kepada siswa, menghargai nilai kemanusiaan, sikap membebaskan bukan
membelenggu siswa.
C. PERLUKAH KEKERASAN ?
Kekerasan dalam pendidikan memang tidak mutlak dihapuskan. Ini bukan karena
alasan ketidakberdayaan guru dalam menghadapi agresifitas anak didik. Tetapi
kekerasan itu masih diperlukan dalam mendidik anak untuk menjadi manusia yang
cerdas dan berbudi luhur. Sepanjang implementasi sanksi tersebut masih dalam
koridor dan prosedur pendidikan, tidak berlebihan dan manusiawi.
Misalnya sanksi pukulan, menurut Abdul Lathif Al Ajlan dalam bukunya
Rambu-rambu Pemukulan dalam Pendidikan Anak (2006) masih diperlukan. Asalnya
sanksi itu merupakan upaya terakhir, setelah guru memberikan nasehat, ancaman
dan boikot terhadap siswa bersangkutan. Hukuman pukulan diberikan dengan
catatan, tidak mengenai wajah dan kemaluan serta tidak membekas pada tubuh
anak.
Lathif mengatakan, sanksi pukulan memiliki sejumlah dampak positif bagi
individu maupun masyarakat. Dampak tersebut seperti akan membentuk anak menaruh
rasa hormat terhadap peraturan, keputusan, perintah dan larangan. Sanksi juga
agar anak tidak ceroboh dalam mengerjakan sesuatu. Memanamkan kebiasaan yang
baik, bersikap sabar dan hati-hati.
Apa jadinya jika kekerasan itu sama sekali ditiadakan, kewibawaan sekolah
sebagai lembaga pendidikan akan menurun dimata anak didik. Siswa seenaknya
berulah tanpa takut harus dihukum oleh guru atau kepala sekolah. Namun bukan
berarti kekerasan yang dilegalkan memberikan pemahaman bahwa kekerasan adalah
penyelesaian yang terbaik. Ini akan merusak citra sekolah seperti penjara
(Lembaga Pemasyarakatan) bagi siswa didik. Kekerasan diatasi dengan kekerasan
justeru akan melahirkan kekerasan baru.
Dalam mengatasi kekerasan dalam dunia pendidikan, yang lebih penting lagi
adalah penegakan supremasi hukum peraturan sekolah. Peraturan sekolah dibuat
jangan hanya untuk siswa, sementara bagi guru, karyawan dan kepala sekolah
tidak diatur. Alasan sekolah aturan kepegawaian sudah ditetapkan oleh hukum
nasional. Padahal hukum nasional tidak mengatur secara rinci kehidupan di setiap
sekolah yang memiliki karakteristik tersendiri.
Sudah saatnya pihak sekolah menyusun sebuah peraturan sekolah yang mengatur hak
dan kewajiban tidak saja untuk siswa, tetapi juga bagi guru, tenaga pendidikan
dan kepala sekolah. Sebagai sebuah aturan, tentu saja lengkap memuat reward dan
punishment bagi semua pihak dan berbagai tata aturan di sekolah yang
bersangkutan seperti mekanisme pemilihan jabatan wakil kepala sekolah berikut
para pembantunya, kebijakan tentang biaya perjalanan dinas guru ke luar kota
dan banyak lagi.
Terakhir yang harus dipahami bahwa kekerasan tidak hanya milik dunia
pendidikan. Lembaga pendidikan hanya bagian mata rantai dari lingkaran spiral
kekerasan dalam masyarakat. Artinya, kekerasan pendidikan bukan variabel
independent. Untuk menyelematkan tunas bangsa maka diperlukan penanganan
komprehensif dari semua sector, mulai politic will pemerintah, para penegak
hukum, tokoh agama, termasuk pembenahan kurikulum dan perbaikan kesejahteraan
guru.
D. PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Semakin maraknya aks ikekerasan dalam dunia pendidikan sangat mengkhawatirkan
banyak pihak. Belum lagi tren menyimpangan sosial yang melibatkan para pelajar
menambah sisi suram masa depan bangsa ini. Fenomena sosial ini telah mengundang
keprihatinan berbagai pihak dan menyuarakan pentingnya peningkatan Pendidikan
Budi Pekerti di sekolah.
Namun sebagian pihak tampak pesimis pemberlakuan Pendidikan Budi Pekerti tidak
bisa berbuat banyak mengatasi masalah sosial di atas. Sejarah pendidikan
nasional telah membuktikan kegagalan pendidikan ini di sekolah-sekolah.
Sekalipun diajarkan toh kekerasan dan kenalakan remaja sering terjadi.
Pihak lain tetap bersikukuh pentingnya pengajaran nilai-nilai mulia diajarkan
di sekolah-sekolah. Secara teknis pendidikan nilai itu menggunakan pendekatan
terintegrasi dalam sistem sekolah. Artinya kontrol kendali perilaku anak tidak
melulu tugas guru Budi Pekerti, namun semua pihak (stakeholder) yang ada di
sekolah. Mulai dari pesuruh, tata usaha, guru sampai kepala sekolah bahkan
hingga orangtua sekalipun. Adanya tata tertib sekolah berikut reward dan
punishment-nya akan membantu pendidikan nilai anak.
Ketika anak melakukan pelanggaran, misalnya, membuang sampah sembarangan,
seorang pesuruhpun bisa menegur langsung anak yang bersangkutan. Sama halnya
ketika guru sains menemukan anak melakukan kesalahan bisa langsung memberikan
nasehat. Jika sulit diarahkan guru bersangkutan bisa menuliskan jenis
pelanggaran tersebut di dalam buku tata tertib sekolah. Jenis pelanggaran ini
dalam satu tahun diakumulasikan nilainya dan masuk dalam nilai Pendidikan Budi
Pekerti atau sejenisnya.
Dengan kata lain pengajaran Budi Pekerti dilakukan melalui pendekatan konsep di
kelas, pembiasaan sehari-hari pergaulan di sekolah dan sistem yang terintegrasi
dalam aturan dan kepedulian warga sekolah. Sehingga untuk mengukur keberhasiln
pendidikan nilai ini harus melibatkan banyak pihak, tidak hanya diukur dari
evaluasi kegiatan belajar dalam bentuk ulangan (tes).
Melembagakan Pendidikan Budi Pekerti secara intergral tersebut untuk
mempertegas bahwa Misi pendidikan sekolah bukan hanya mentrasfer ilmu
pengetahuan kepada anak didiknya, dari tidak tahu menjadi tahu (kognitif).
Lebih dari itu harus ada perubahan sikap dan perilaku pada anak didik, dari
kurang baik menjadi baik (psikomotor dan afektif). Dengan kata lain, paradigma
pendidikan Indonesia terkini dikembangkan ke arah keseimbangan kecerdasan,
antara intelektual, emosional dan spiritual.
Keseimbangan kecerdasan anak tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan nasional
bangsa Indonesia. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa
pendidikan nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis, serta bertanggung jawab. (*)
No comments:
Post a Comment