Siapakah calon anggota Dewan pilihan anda? Cukup sulit untuk menentukan sebuah
pilihan politik pada Pemilu. Pertama, jumlah partai dan calon legislatif
(caleg) masih banyak seperti pada pemilu sebelumnya. Kedua, program para caleg
semakin menjanjikan dengan berbaiak media informasi, menyusul penentuan
caleg-jadi atas dasar perolehan jumlah suara bukan nomor urut. Kompetisi caleg
akhirnya bukan hanya antar partai tetapi juga di internal partai sendiri.
Faktor lain yang ikut menentukan partisipasi masyarakat dalam pemilu adalah
tingkat kepercayaan masyarakat kepada calon anggota Dewan. Apakah mereka tetap
akan memperhatikan para konstituennya atau sebaliknya jika kelak duduk di
parlemen. Data statistik pilkada diberbagai tempat selama ini menunjukkan angka
golput cukup tinggi, sehingga dikhawatirkan pemilu kurang mendapatkan legitimasi rakyat.
Namun semua pihak sepakat bahwa pemilu adalah pintu gerbang dalam memperbaiki
kesejahteraan rakyat. Walaupun cita-cita tersebut masih indah terdengar tetapi
belum enak dilihat dalam realitas. Pentingnya pemilu, sampai-sampai Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pun berani mengeluarkan fatwa bahwa golput haram.
Persoalan sekarang adalah bagaimana menjatuhkan pilihan politik kita kepada calon
legislatif yang jumlahnya sangat banyak dengan program yang bagus-bagus. Dalam
menentukan pilihan politiknya, masyarakat sekarang harus mulai mempertimbangkan
secara cermat. Jika tidak maka dari pemilu ke pemilu nasib rakyat tidak akan
berubah.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam memilih caleg harus
berkualitas. Berkualitas tidak hanya diukur dari apakah dia terkenal, apakah
berpendidikan tinggi atau banyak uang, mungkin tetangga atau saudara. Tetapi
harus memiliki sejumlah kriteria penilaian yang terukur agar kita tidak
terjebak dengan janji manis caleg. Ujung-ujungnya nanti kita hanya bisa
mengeluh ketika biaya hidup tinggi, ketika menghadapi masalah sosial.
TERINTEGRASI
Seorang caleg paling tidak ada tiga kriteria, yaitu memiliki integritas
intelektual, sosial dan moral. Integritas intelektual dia memiliki kompetensi
keilmuan dan wawasan. Kemampuan ini tidak hanya dibuktikan dengan selembar
ijazah atau gelar yang berderet panjang di depan atau di belakang namanya.
Karena banyak di negeri ini yang bergelar dan berijazah namun kualitas
berfikirnya dipertanyakan.
Pendidikan tinggi memang membantu memiliki kematangan integritas intelektual.
Indikatornya adalah kemampuannya dalam menulis konsep, berbicara dan
mendengarkan. Kualitas intelektual caleg bisa dilihat ketika dia
berpidato/kampanye, apakah bahasanya baik dan berbobot (pesan dan terstruktur),
bisa menulis gagasan, mau mendengarkan keluhan warga dan mencari jalan
keluarnya (problem solver).
Kebiasaan itu kelak akan menjadi wilayah kerja anggota Dewan. Karena tugas dan
wewenang legislatif adalah membuat peraturan (legislasi), pengawasan (kontrol)
dan menyusun anggaran (bageting). Bagaimana mungkin dia bisa bekerja sesuai
tugasnya jika anggota Dewan tersebut tidak bisa menulis dan menyampaikan
gagasan serta memperjuangkan aspirasi rakyat di gedung parlemen.
Rendahnya integritas intelektual legislatif ini berdampak pada output kebijakan
pemerintah. Seperti kebijakan dan produk hukum yang tidak pro rakyat, banyak
masalah publik yang terabaikan, anggaran yang tidak memihak kesejahteraan
masyarakat. Padahal disisi lain, pihak eksekutif sudah terdidik dan terlatih
dalam membuat kebijakan public. Sementara anggota Dewan setiap periode pasti
ada wajah baru yang manggung, dengan kemampuan yang beragam.
Kriteria kedua adalah seorang caleg harus memiliki integritas social.
Integritas ini untuk mengukur tingkat kepedulian caleg terhadap berbagai
persoalan yang dihadapi masyarakat. Kepedulian ini tidak bersifat instan,
ketika ada kepentingan politik menjelang pemilu. Tetapi bisa dilihat kiprahnya
di masyarakat, apakah sebelum dan sesudah menjadi caleg ada konsistensi
perilaku kepedulian terhadap problem masyarakat?
Hal serupa bagi anggota Dewan yang manggung, apakah sebelum dan selama menjadi
anggota Dewan tetap merakyat, memperjuangkan kepentingan umum atau tidak. Jika
tidak, kesimpulannya dia bukan pejuang sejati tetapi seorang oportunis. Dengan
kata lain, kita hanya sia-sia jika harus memilih kembali anggota Dewan atau
caleg seperti itu.
Aspek lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah seorang caleg wajib memiliki
intergritas moral. Persoalan moral erat kaitannya dengan pengamalan agama
seseorang. Seperti halnya kriteria Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa harusnya
variable yang terukur, bukan sekadar bukti fisik Kartu Tanda Penduduk bahwa dia
warga negara yang beragama.
Moral bisa dilihat pengamalan agamanya dalam kehidupan sehari-hari di keluarga,
masyarakat dan lingkungan kerjanya selama ini. Moral dalam kejujuran,
keberanian membela yang benar, mengajak dan mengajarkan kebenaran, menegur dan
mencegah kejahatan (amar ma’ruf nahi munkar). Dengan sikap ini kita yakin
seorang caleg akan konsisten memperjuangkan kebenaran demi kesejahteraan
masyarakat.
KUALITAS DEMOKRASI
Tiga dasar dalam memilih caleg tersebut (intelektual, social dan moral)
merupakan upaya kita membangun demokrasi yang berkualitas di negeri ini. Atas
tiga dasar kriteria itu kemungkinan kecil seorang caleg menjadi pejahat kerah
putih (white color crime). Sebaliknya jika kita tidak punya dasar dalam
memilih, caleg favorit kita justeru malah akan memperdayai kita.
Dengan landasan pemilihan tersebut maka penentuan caleg bisa jadi tidak berpaku
pada darimana partainya, tetapi pilihannya lebih pada siapa calegnya. Beberapa
kasus membuktikan mengaku dari partai bermoral tetapi kemudian dia paling rajin
korupsi. Mengaku anggota Dewan pejuang rakyat tetapi kontrolnya kepada
eksekutif atas dasar proyek atau amplop.
Ukuran demokrasi harus mulai digeser, tidak hanya pada aspek kuantitatif tetapi
sudah mengarah kualitatif. Dulu seorang professor akan kalah suaranya dengan
lima tukang becak dalam pemilu. Namun kini bisa terbalik, seorang professor
bisa mempengaruhi lima tukang becak itu untuk memilih sesuai pilihan sang
professor. Sang professor memilih caleg atas dasar kriteria tiga integritas :
intelektual, social dan moral. Semoga! (*)
No comments:
Post a Comment